Pasca reformasi, yang diikuti dengan praktek pemilihan langsung yang didaku lebih demokratis. Karena suara tak perlu lagi diwakilkan, memungkinkan lahirnya banyak lembaga survai politik. Ia pada mulanya, hanya berhitung pada tingkat popularitas dan berujung pada tingkat elektabilitas seseorang. Dimana seseorang bisa “disulap” dari tidak dikenal menjadi populer, dari tidak memiliki nilai keterpilihan menjadi (mungkin) bisa dipilih.
Padahal sesungguhnya ilmu politik sebagai bagian dari ilmu sosial nyaris tidak memiliki metodologi mandiri sama sekali. Ia menggunakan ilmu statistik, yang dipadukan dengan berbagai bidang keilmuan lainnya seperti ilmu sosiologi atau psikologi yang menjadi induknya. Maupun tentu saja ilmu pemasaran yang sesungguhnya bagian dari ilmu ekonomi dan komunikasi. Artinya, pada dasarnya ia adalah “bauran pemasaran” (mix marketing).
Dalam konteks ini, posisi seseorang (atau sekumpulan tokoh) dalam praktek survai tak lebih sebagai obyek penilitian lainnya. Ia sama statusnya misalnya berbagai jenis mie instan, mobil, rokok, alat kontrasepsi dan produk lainnya. Karena itu keberhasilan “seorang calon” selalu didasarkan pada upaya bagaimana ia memasarkan dirinya. Bagaimana ia membuat ikatan dengan calon pemilihnya dilakukan dengan cara2 tertentu. Baik itu melalui janji2 politik, maupun yang kongkret “kompensasi suara dukungan” yang bentuknya bisa macama-macam….
Realitasnya di tahun 1980an, jauh sebelum masa reformasi “aktivitas survai” hanya diampu oleh lembaga2 penelitian yang berada di bawah lingkungan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Atau kalu pun ada lembaga profesional, umumnya dilakukan oleh perusahaan2 yang berafiliasi secara internasional. Dalam konteks inilah lembaga survai memiliki kredibilitas, integritas, dan profesionalitas yang dapat diandalkan. Pengguna jasa survai butuh suatu gambaran riil, jujur, dan apa adanya untuk memilih kebijakan apa yang terbaik akan digunakan.
Lembaga survai pada saat itu adalah jalan keluar, ia memberikan solusi. Dan bukan polusi, apalagi sekedar simulasi…
Dalam konteks inilah, lembaga2 survai yang hadir kemudian yang dari waktu ke waktu semakin banyak itu justru menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana sebuah lembaga survai, yang baru lahir, miskin reputasi, dan berani sedemikian lugu mempublikasikan hasil survainya. Tiba-tiba mengklaim sebuah hasil yang bukan saja mengejutkan, tapi nyleneh dan aneh-aneh. Tampak sekali lembaga survai seperti ini, memiliki kecenderungan “miring” ke arah seorang tokoh tertentu. Tentu saja, tujuannya adalah memperkuat image, popularitas, dan nilai elektabilitasnya.
Apakah mereka bayaran? Tentu saja tak ada survai sesederhana apa pun yang tak membutuhkan biaya! Apalagi bila harus menjangkau responden, dengan keteracakan yang tinggi yang secara random mampu mewakili tiap segmen kelompok responden. Tentu semakin presisi dan akurat sebuah survai membutuhkan biaya yang sangat besar…
Karena itulah walau lembaga survai dibutuhkan, hanya saja tidak dibutuhkan sebanyak itu juga kali! Ia tidak saja harus punya jaringan yang cukup luas tetapi juga kedalaman pengalaman untuk mengurangi potensi human error. Di sini lah, sesungguhnya lembaga survai akhir2 ini cenderung semakin rendah kredibilitas dan integritasnya. Nyaris muncul nama2 lembaga baru, yang ketika dicek masih berusia sangat muda, tetapi memiliki kecenderungan hasil yang “asal beda” dan melulu berwatak “eksibisionis”.
Salah satu, lembaga yang minggu2 ini merilis hasil survainya adalah lembaga yang bernama Indo Riset. Menjadi perhatian di sosial media, karena metode survai-nya terlihat sangat absurd. Ia mengutak-atik atau dalam istilah mereka membuat “simulasi” sedemikian rupa hanya agar nama Ganjar Pranowo tampak unggul, Prabowo tetap disegani, tapi ujung2nya bahkan Anies Baswedan bisa keluar sebagai pemenang. Sebuah hasil yang malah membingungkan, dan menunjukkan bahwa ia benar2 hanya “simulasi”. Sebuah aksi main-main belaka….
Caranya? Atau akal-akalannya bagaimana?
Ia membuat survai yang dalam istilah proses peneilitian dianggap “curang” dengan mendirect sedemikian rupa. Agara tujuan dasar dari penelitiannnya tercapai sesuai mungkin “pesanan” si pembayarnya. Atau minimal mencapai keinginan atau target si pembuat survai. Apakah hasil ini sebagai pancingan awal untuk menarik klien tertentu atau tujuan tertentu. Dalam konteks survai terakhir tersebut, ia sedang mengail di air keruh. Ia seolah membuka dirinya kepada siapa saja. Apa yang populer bahwa semua kemungkinan masih terbuka!
Sebuah teknik marketing yang banal, hanya sekedar untuk menjual dirinya dan orang lain yang “mungkin” mau membayarnya.
Dalam kasus hasil survai yang dirilis pada Rabu (7/9/2022). Survei ini mencoba mensimulasikan head to head antar tokoh. Mula-mula ia menyodorkan 13 nama, lalu dipersempit menjadi 8 nama, 3 nama, dan terakhir membuat simulasi duel antar 2 nama dengan nama2 yang berbeda. Saat jumlah nama tersebut masih berjumlah banyak hingga minimal 3 nama, maka yang menang adalah Ganjar. Nah, pada saat “head to head” itulah nama2 yang unggul sangat berbeda2. Misalnya Prabowo vs Anies yang unggul Anies, tapi jika Anies vs Ganjar yang unggul Anies.
Pertanyaannya, apakah metode survai simulasi seperti ini bisa dipercaya?
Secara teknis, metodologi survai untuk merangkum opini responden terbagi dua cara yaitu kuantitatif dan kualitatif. Survai2 yang umum dilakukan dan berbiaya murah, umumnya adalah kuantitatif yang terkadang sangat lucu karena dilakukan melalui telpon misalnya. Dengan pertanyaan singkat, menjebak, dan sangat terasa mengarahkan. Makanya sesungguhnya ia tak lebih polling atau jajak pendapat, yang sifatnya sangat temporer dan situasional. Sangat diragukan, bila metode kuantitatif lalu digunakan dengan “pendekatan simulasi” yang harusnya melalui tatap muka secara kualitatif…
Namun, demikianlah lembaga survai di hari ini. Mereka sebagaimana, para “cukong” mereka yang hanya mengejar hasil cepat dan instan. Mereka berada di wilayah “klaim-mengklaim”, yang bila salah mereka akan memperdebatkan hal-hal teknis yang sesungguhnya menunjukkan kelemahan dasar mereka pada sisi metodologis dan integritas. Bila hasil “survai awalan” saja sudah sedemikian buruk, apalagi kelak bila sudah sampai titik “hasil akhir” oleh apa yang disebut exit-poll. Dapat dipastikan sangat bias, meragukan, dan apa gunanya….
Lalu apa manfaat “survai” seperti ini? Ya melulu, kepentingan publikasi media. Yang berguna hanya bagi meningkatkan popularitas si lembaga survai. Bagi publik nyaris nol besar manfaatnya. Sedangkan bagi “figur si calon”, hanya sebuah pancingan untuk memunculkan kebutuhan memperbesar pengaruh. Apa yang bisa dipahami sebagai memperbesar “nilai elektabilitas” dari waktu ke waktu. Hasil survai seperti ini, melulu “pancingan” bagi mereka. Yang ujung-ujungnya adalah semakin berani menggelontorkan dana untuk menaikkan popularitas mereka.
Lembaga survai seperti ini, tak lebih penebar candu. Mereka yang terlibat di dalamnya, didorong untuk selalu peduli pada perkembangan hasil survai dari waktu ke waktu. Hal dan perihal yang menyebabkan praktek politik praktis di hari ini dianggap semakin berbiaya tinggi. Yang dari waktu ke waktu semakin mahal. Salah satu yang perlu disalahkan ya tentu saja lembaga2 survai itu. Merekalah yang secara tidak langsung memfungsikan diri untuk meningkatkan “kepedean” para calon….
Inilah waktu ketika lembaga survai memasuki senjakala, eksisintensi, integritas, dan kredibilitasnya. Ia bukan solusi, ia adalah polusi!
.
.
.
NB: Sayangnya, sampai saat terakhir tulisan ini dibuat. Saya gagal menemukan website dari lembaga survai bernama “Indo Riset”. Saya hanya berhasil menemukan profil singkat direkturnya yang bernama Roki Arbi, seorang lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Yang selama ini memang punya pengalaman bekerja di berbagai lembaga2 survai sebelumnya. Bagaimana mungkin kita percaya, lembaga survai bila membuat website untuk membranding dirinya sendiri pu, ia tak mampu.
Dari profiling minim seperti inilah kita disodori berbagai “temuan”-nya yang melulu menjadi konsumsi media yang memberitakannya dengan banal dan mentah. Dari amatan perjalanan berbagai survai yang dilakukan lembaga ini dari waktu kewaktu, sejak lembaga ini didirikan (baru) setahun yang lalu. Hasil pollingnya selalu melulu mengekspos sisi “narsistik dan bombastis”. Misalnya Pilpres 2024 akan berlangsung dua putaran, belum ada capres yang kuat dan pasti menang di 2024.
Bagaimana pun lembaga survai sejenis ini adalah suatu penanda zamannya. Bahwa kita akan semakin asyik masyuk dengan zaman edan. Yen ora edan, ora keduman. Tidak berani gil-gilaan maka tak akan dapat bagian…