Hampir 1,5 tahun kita berada pada situasi pandemi karena virus Covid 19. Merubah sendi kehidupan yang selama ini sudah tertata. Tiba-tiba kita semua tak bebas bersilahturahmi, tak bebas bernapas dan tak bebas berkegiatan ekonomi bahkan tak bebas melakukan hal-hal yang selama ini menjadi kegiatan wajib kita sehari-hari. Kita dipaksa melakukan banyak penyesuaian. Misalnya sekolah dilakukan daring, sebagian para pekerja kantor juga melakukan kegiatan jam kerja dari rumah yang kita kenal dengan istilah WFH. Sementara yang tetap masuk kerja di kantor kita kenal dengan istilah WFO. Demi pencegahan penyebaran virus.
Dampak pandemi juga merubah pelaksanaan pesta demokrasi PILKADA serentak di tahun 2020 lalu. Penyesuaian jadwal pilkada maupun aturan masa kampanye dilakukan. Dan secara signifikan merubah kebiasaan kampanye yang selama ini menjadi kebiasaan. Tidak ada pengerahan massa, dan memunculkan salah satu metode baru kampanye dengan ‘virtual box’ ala mas Gibran Rakabuming. Dampak pandemi yang juga sangat terasa memukul perekonomian masyarakat bawah, membuat pemerintah mengambil kebijakan percepatan pemulihan ekonomi dan mendorong terciptanya kekebalan kelompok dengan kebut vaksin. Bansos juga diberikan pada masyarakat terdampak.
Belum juga kita selesai dengan kelelahan yang ditimbulkan letupan pandemi yang memunculkan PPKM Darurat dari awal Juli lalu dan perhelatan pilkada kemarin, kini sudah mulai terasa angin pesta demokrasi pilpres 2024 dihembus-hembuskan. Sejujurnya ini bisa jadi angin segar jika dimanfaatkan untuk mengedukasi masyarakat soal pilihan beberapa tokoh nasional calon bakal calon pemimpin nasional kedepan.
Mumpung masih ada waktu yang cukup panjang, sepanjang jalan kenangan masa lalu dengan para mantan. Tapi harapan saya harus saya pupus. Yang terjadi lebih mengarah beraroma cikal bakal episode lanjutan cebong dan kampret. Hal ini timbul karena masing-masing pihak merasa paling benar dan lupa untuk menghargai hak orang lain untuk fokus pada pemulihan asap dapurnya masing-masing, ataupun karena alasan lain.
Gelombang awal angin calon bakal calon pencapresan yang tertangkap di media sosial adalah dukungan pada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Lalu kemudian muncullah fenomena baliho yang tumbuh bagai jamur di musim hujan di berbagai wilayah Indonesia. Beberapa yang tertangkap di linimasa media sosial adalah baliho Puan Maharani, Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartarto. Sentimen negatif dari masyarakat atas kemunculan baliho tersebut dianggap tidak peka pada kondisi masyarakat yang sedang dirundung susah karena efek pemberlakuan PPKM Darurat. Semua ramai-ramai menghujat Puan Maharani, tidak dua tokoh yang lainnya tadi.
Lalu ketika ada yang mengunggah tulisan tentang bagaimana dan siapa Mbak Puan langsung banyak tanggapan yang menuduh sebagai kontra narasi untuk menahan laju dorongan kepada Ganjar Prawono . Tulisan Niken Satyawati memang melawan arus, ia ikut dicaci maki sebagaimana orang-orang mencaci maki Puan Maharani. Mereka yang anti Puan sungguh beringas, mirip sikap cebong – kampret pilres yang lalu. Tulisan yang berdasarkan data dan fakta dianggap tidak benar/hoax.
Pekerjaan rumah kita itu ternyata banyak untuk membuat masyarakat kita sadar, bahwa perbedaan pandangan itu biasa. Dan mestinya kita tetap harus saling menghormati dan menghargai pendapat. Tahapan pencapresan belum dimulai. Partai politik dalam hal ini PDIP bahkan belum memutuskan siapa yang akan diajukan. Tapi kondisi sudah ramai dan kadang jadi ‘anget’ di medsos. Padahal masih dinamis lho, ya. Mereka yang mendukung Puan Maharani tidak sedikit, tapi tidak nampak ke permukaan. Saya menduga mereka taat pada perintah partai alias menunggu.
Trus soal tuduhan pemasangan baliho yang mencederai rakyat kecil itu gimana? Baliho mbak Puan banyak dipelesetkan dan dihujat. Saya cuma mau mengingatkan soal dampak pandemi yang membuat banyak kalangan mengkis-mengkis usaha dan perekonomiannya. Para pelaku usaha advertising juga terdampak, terutama yang menangani jasa pemasangan iklan outdoor atau media luar ruang pasti merasakan kelimpungan juga. Pandemi membuat lalu lintas jalan sepi dan merubah strategi pemasaran sebuah produk barang maupun layanan yang biasa beriklan outdoor.
Berdasarkan data yang dipunyai Nielsen Media Indonesia, di Jakarta saja untuk media outdoor seperti billboard, videotron, baliho dan jembatan penyeberangan orang (JPO) pada tahun lalu hanya terisi 30%. Coba amati di kota masing-masing, pasti banyak space iklan nganggur. Jaman kampanye pilkada lalu banyak yang menawarkan dengan harga damai. Saya menolak karena tidak punya duit juga meski harga sudah berdamai dengan keadaan dan memang fokus di pergerakan arus bawah.
Atas kondisi tersebut diatas maka jika kemudian ada upaya penyelamatan hajat hidup orang banyak dengan kebijakan berbagai pihak dengan pemasangan baliho yg dipersoalkan banyak orang kemarin ya wajar. Bisa di bayangkan berapa belanja iklan outdoor yg tentunya jatuh harga juga. Sementara pelaku bisnis jasa pemasangan iklan outdoor juga menyedot cukup banyak pekerja, konon sebuah agency melibatkan 15 orang. Mereka butuh melanjutkan hidup juga. Mungkin para pekerja yang terlibat dalam bisnis tersebut banyak yang sudah mendapat bantuan pemerintah dan bersyukur.
Soal cukup atau tidak ya biar jadi catatan dalam hati saja. Tapi roda bisnis harus terus bergerak seperti sepeda yang kita kayuh. Jadi sudahilah soal menyinyiri baliho. Bisa jadi itu upaya yang dilakukan siapapun yang gambarnya terpampang disitu untuk membantu agar perekonomian bergulir di segala sektor. Sekelas para tokoh-tokoh itu rasanya aneh jika tidak peka. Lagian soal harta dan tahta itu kan suratan nasib juga. Boleh dipingini semua orang, tapi tak mungkin dimiliki semua orang. Itu sebabnya mak lambe turah kadang nyinyir, kadang tidak.
Mohon maaf saya tidak siap dinyinyiri juga gegara nulis ini. Saya hanya siap es teh 2.500/ cup atau Tortila Merbel 10.000/ biji.
*Imelda Yuniati, bakul segalanya
.