Unboxing AHY, Puan dan Ganjar: Jalan Terjal ke 2024

Berita survei elektabilitas capres oleh Lembaga Indostrategic pada 23 Maret- 1 Juni 2021 cukup menghebohkan. Hasil survei menempatkan pasangan Anies Baswedan-Agus Harimurti Yudhoyono teratas dengan 20,25%, disusul Prabowo Subianto-Puan MaharanI dengan angka 14,65%, baru Ganjar-RK ada di angka 8,05%.

Hasil ini menyimpang dari survei-survei lain yang selalu menempatkan Ganjar Pranowo di urutan pertama. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Survei Voxpol Center Research and Consulting, Survei Y-Publica, dan Survei Indikator Politik mendapatkan hasil serupa, GP teratas dengan kisaran 19-20%.

Valid kah survei Indostrategic? Validitas survei sangat dipengaruhi independensi responden. Semakin anonim responden, semakin independen hasilnya. Indostrategic menggunakan metode wawancara tatap muka sehingga sangat mengurangi independensi responden. Survei lain dari KedaiKOPI yang juga menggunakan metode tatap muka, menunjukkan hasil yang tak menyimpang juga. Kali ini Jusuf Kalla disebut sebagai capres teratas.

Untuk mengevaluasi hasil survei tersebut, mari kita Unboxing perbandingan antara AHY, Puan dan GP.

AHY.
Pensiunan Mayor AD dengan fisik menawan, trendy, terkadang bercambang. Sering terlihat tampil dengan busana serupa sekeluarga. Termasuk yang paling fenomenal, foto keluarga SBY dalam busana batik seragam, lengkap dengan celana kain dan sepatu pantofel kulit bermodel lancip mengkilap di pantai karang Pacitan berlatar ombak besar. Jangan-jangan sepatu pantofel ini sebenarnya sepatu selam.

Penampilannya ini tak hanya menuai kritik, tetapi AHY dinilai orang yang tak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan sekitarnya. Tak mampu berpikir komprehensif. Lambat belajar, hingga kurang dinamis di tengah perubahan zaman yang makin cepat. Tipe orang yang menyiram tanaman di waktu hujan. Melakukan sesuatu tanpa paham makna dan akibatnya.

AHY pun didera kasus internal di tubuh Partai Demokrat sebelum ia setahun memimpin partai segitiga biru itu. Ia didakwa menjalankan partai seperti partai keluarga saja. Di luar keluarga Cikeas, tak mungkin menjadi pucuk pimpinan.

Nama baik AHY pun digerogoti kasus-kasus korupsi yang menyebut nama SBY dan adiknya Ibas. Satu persatu ex demokrat yang terkena kasus korupsi menyebut nama Cikeas dalam sidang-sidang perkaranya.

Nama buruk AHY masih ditambah dengan istri kontroversial karena terlalu nyinyir dan gemar tampil glamor. Nyonya AHY pernah tercatat salah mengutip nomor ayat Al Quran pula. Bagaimana orang seperti itu bisa menjadi Ibu Negara? Bahkan dunia julid pergosipan menengarai kenyinyiran istrinya adalah kompensasi pernikahan yang tak bahagia. Bila memimpin istrinya saja ia gagal, maka blablabla….. demikian perjulidan yang beredar.
AHY untuk 2024 beresiko tinggi mengembalikan Indonesia pada era pencitraan tanpa bukti.

Puan Maharani…
Ibu yang satu ini namanya sedang heboh dibicarakan. Konon si Ibu sebentar lagi akan memecahkan rekor MURI sebagai politisi yang paling banyak mengepakkan baliho di Indonesia.

Konon katanya juga, baliho itu justru membuat nama si Ibu makin terpuruk dalam survei-survei calon Presiden 2024. Di Blitar dan Surabaya, kantong suara partainya, baliho si Ibu dicoret-coret dengan kata-kata tak senonoh.

Herannya si Ibu terus saja menebar baliho ke seluruh penjuru Indonesia. Berkebalikan dengan balihonya yang bertebaran, bantuan dan kegiatannya dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 nyaris tak terdengar. Si Ibu terlalu berpikir jangka panjang, sehingga lupa untuk ‘berkarya’ di hari ini. Bagi si Ibu, Pilpres 2024 itu sudah sangat di ambang mata, sedang pandemi pasti berlalu tanpa harus ikut menyingsingkan lengan baju.

Ada yang dilupakan si Ibu. Sense of crisis….
Uang yang digunakan untuk baliho itu, jauh lebih bermanfaat bila digunakan untuk bansos penanggulangan pandemi. Masih ditambah potensi masalah hukum yang ditimbulkan apabila pajak reklame balihonya tak sesuai Perda setempat. Apalagi bila tak membayar pajak. Satu kata: si Ibu ini jadul. Ambisi yang tak didukung prestasi.

Ganjar Pranowo

Boleh dibilang nama GP yang paling solid saat ini. Ia pun dianggap paket lengkap karena berpengalaman sebagai legislator sekaligus gubernur. Masih ditambah dengan perawakan santun dan ‘good looking’. Tidak heran ia menjadi ancaman serius bagi mereka-mereka yang akan mencoba peruntungan di 2024 seperti Anies Baswedan dan AHY. Dan begonya lagi, rekan separtainya, Puan Maharani ikut panas melihat elektabilitas GP yang terus meroket.

GP kemudian dihajar isu serapan anggaran yang rendah. Dikatakan lawan politiknya, serapan anggaran hingga 22 Juli, serapan sudah mencapai 15,65% dan update hingga 24 Juli telah mencapai 17,28% atau sebesar Rp 49.040.562.303. Di antaranya, pemberian insentif untuk tenaga kesehatan yang sudah cair Rp39.895.216.303 atau 66,31 persen. Meski kegiatan-kegiatan sudah dilaksanakan, termasuk juga beberapa pengadaan masih dalam proses lelang, GP terkendala pencairan pembayaran masih dalam proses.

Ini harusnya menjadi warning bagi GP untuk lebih concern memacu kinerja aparaturnya. Apalagi angka serapan anggaran di propinsi lain relatif cukup besar. Artinya, kinerja administrasi ASN di lingkungan Pemprov Jateng masih kalah giat dibanding di provinsi lain. Jawa Timur misalnya, atau DKI Jakarta, yang konon gubernurnya terkenal ‘berani’ menyerap anggaran. Berani nyerempet.

Kelambanan ini bisa berarti karena kehati-hatian. Namun tanpa disadari dampaknya akan fatal, apalagi bila berkait penanganan pandemi. Kesigapan tenaga kesehatan selaku ujung tombak serta masyarakat melalui satuan tugas ‘Jogo Tonggo’ sangat tergantung dukungan anggaran. Tingginya kasus positif Covid-19 yang ditengarai terjadi di Jateng bisa jadi adalah imbas lambatnya dukungan dana untuk setiap kegiatan penanganan pandemi. Kesigapan pencairan juga akan sangat membantu pemulihan ekonomi masyarakat.

Kelambanan juga dapat terjadi akibat penganggaran tahun lalu kurang tepat sasaran atau kurang prediktif terhadap apa yang mungkin terjadi di tahun ini. Sehingga ada banyak mata anggaran yang belum tercover dan harus menunggu perubahan anggaran. Harus menjadi pelajaran bagi seorang kepala daerah ke depannya.

Di lain pihak, melihat cukup masifnya penanganan Covid di Jateng yang tak diiringi dengan kecepatan penyerapan anggaran, GP terbukti menjadi kepala daerah yang tak hanya mengandalkan anggaran refocusing Dana Alokasi Umum. GP ternyata mampu menghimpun dan memanfaatkan dana dari CSR perusahaan. Kemampuan mengelola stake holder dengan baik ini serupa Ahok semasa menjadi Gubernur DKI. Prestasi ini tentu akan dicoba dikerdilkan lawan politiknya.

Kesimpulannya, dari tiga nama yang kita unboxing kali ini, GP tetap terdepan. GP hanya harus memperbaiki kinerja jajaran administrasinya. Sedang bagi AHY dan Puan, waktu 3 tahun tak akan cukup untuk mengejar ketertinggalan mereka secara pengalaman dan ilmu dari GP.
Jauuuuuuh……………………….

Nia Megalomania



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *