Vaksin Untuk Rakyat

Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Kesehatan, Kepala BPOM dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada 19 April 2021 menjadi anti klimaks kontroversi tentang Vaksin Nusantara.

Adapun 3 poin penting dari MOU (Memorandum Of Understanding) “Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2” ini adalah :

1) Penelitian ini BUKAN merupakan lanjutan dari uji klinis fase II penelitian vaksin Nusantara. Ini menegaskan sikap kepala BPOM yang menolak uji klinis fase II penelitian vaksin Nusantara karena belum memenuhi syarat cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan ada temuan komponen yang digunakan tidak sesuai dengan pharmaceutical grade.

2) Penelitian akan berpedoman pada kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, ini menjadi penegasan bahwa pengawasan penelitian dan pengadaan vaksin Nusantara sepenuhnya merupakan kewenangan dari Kementerian Kesehatan, bukan BPOM.

3) Penelitian bersifat autologos, yaitu hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri, tidak untuk dikomersialkan secara massal.

Mencermati rangkaian peristiwa demi peristiwa sejak awal diumumkannya penelitian tentang vaksin nusantara, sulit dibantah bahwa Nota kesepahaman yang ditandatangani oleh pucuk pimpinan 3 lembaga negara tersebut merupakan bentuk kompromi politik. Mengapa demikian ?

1) Nota Kesepahaman bukan merupakan produk hukum atau perjanjian yang mengikat secara hukum pihak-pihak yang ada di dalamnya. Ia baru sebatas pernyataan itikad baik dari para pihak. Dengan demikian, apabila kemudian ada yang keluar dari kesepahaman bersama, tidak ada sanksi hukumnya.

2) Penandatangan nota kesepahaman merupakan jeda pertarungan dan tarik-menarik kepentingan antar kekuatan kelompok elit politik-ekonomi baik sipil maupun militer. Jeda diperlukan untuk menurunkan tensi politik para pendukungnya baik yang pro maupun kontra terlalu bersemangat yang bisa jadi memicu gesekan-gesekan horisontal.

3) Secara tekstual, kompromi politik itu tersebar dalam poin-poin yang menjadi kesepahaman bersama. Poin pertama, penelitian tetap berjalan dengan tetap menjaga marwah dan integritas BPOM. Poin kedua, BPOM tidak lagi intervensi dalam penelitian. Kewenangan itu ada pada Kementerian Kesehatan. Poin ketiga menjadi angin segar bagi para kompetitor dan pemain dalam bisnis vaksin sebab vaksin nusantara akan tenggelam untuk sementara waktu. Saat ini melalui Kepmenkes No.9860/2020, ditetapkan 6 jenis vaksin yang dapat digunakan di Indonesia yaitu vansin produksi Bio Farma, AstraZeneca, Sinopham, Moderna, Pfizer/BioNTech, dan Sinovac.

Selain vaksin Nusantara, publik juga telah mengetahui tentang vaksin merah-putih. Para pendukungnya mempropagandakan vaksin yang didukungnya adalah vaksin buatan anak bangsa, mengangkat isu nasionalisme serta mengajak publik untuk mewaspadai kapitalisme yang bermain dalam bisnis vaksin. Tentu saja supaya tidak percaya begitu saja terhadap kebenaran klaim dan propaganda, kita perlu mengetahui siapa saja atau lembaga apa saja yang terlibat dalam penelitian vaksin, siapa penyandang dananya, seberapa besar prosentase Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk bahan baku dan peralatan penelitian vaksin serta keberlanjutan terkait dengan alih-tehnologi pembuatan vaksin.

Boleh jadi sebagian besar penelitinya berasal dari perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Namun apabila prosentase TKDN-nya sangat minim, yang berarti sebagian besar bahan dan peralatannya tergantung dari impor, klaim nasionalisme bisa dicoret. Apalagi kalau aktif menyebarkan klaim melawan kapitalisme vaksin namun ternyata sebagian besar penelitian didanai oleh perusahaan multi nasional, produksi serta penjualan vaksin harus sesuai dengan syarat dan ketentuan dari penyandang dana asing, bukankah jadinya sangat norak ? Propaganda dan klaim ideologis memang masih bermanfaat untuk menyamarkan kepentingan menguasai pasar nasional untuk memperoleh keuntungan bisnis yang sangat menggiurkan.

Yang patut dikritisi, diawasi dan diwaspadai oleh publik ialah keberpihakan para pejabat negara, pengambil kebijakan maupun akademisi-peneliti, bukan kepada rakyat atau kepentingan publik melainkan pada kepentingan pemodal untuk turut menikmati keuntungan finansial, saham dan bentuk material lainnya dalam bisnis vaksin. Pengadaan vaksin adalah bisnis yang besar mengingat penduduk di Indonesia sekitar 250 juta jiwa. Nilainya trilyunan rupiah. Apabila harga per dosis vaksin rata-rata 200 rb rupiah, jumlah penduduk yang divaksin 200 juta sedangkan per orang butuh 2 dosis vaksin berarti nilainya mencapai 80 trilyun rupiah. Itu harga untuk vaksin yang diprogramkan oleh pemerintah.

Untuk vaksin secara mandiri, harganya jelas jauh lebih mahal. Bisnis vaksin terlalu menggiurkan untuk dilewatkan, tidak terkecuali oleh para pejabat negara yang bersentuhan langsung dengan penelitian, pengesahan dan pengadaan vaksin. Meskipun secara normatif, para pejabat negara terkait dibatasi oleh aturan dan undang-undang, pakta integritas ataupun kode etik terkait konflik of interest, tidak menutup kemungkinan pernyataan-pernyataan yang disampaikan ke publik mengandung bias kepentingan. Untuk meminimalkan bias kepentingan, maka perlu adanya audit kebijakan secara reguler.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emmanuel Melkiades Laka Lena telah menuding BPOM melakukan pembohongan publik terkait keputusan BPOM yang tidak mengijinkan uji klinis fase dua vaksin Nusantara. Ini merupakan tudingan serius yang perlu ditindaklanjuti dengan audit kebijakan lebih lanjut meskipun nota kesepahaman telah ditandatangani. Alih-alih menyatakan dukungan terhadap vaksin nusantara dengan beramai-ramai menjadi relawan vaksin nusantara, jauh lebih penting bagi publik apabila DPR meminta keterangan, klarifikasi dan mengaudit kebijakan BPOM terkait dengan wewenang, SOP, kebijakan yang dikeluarkan oleh BPOM untuk mengetahui dengan pasti apakah ada penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan dan pembohongan publik.

Dengan pamer dukungan terhadap vaksin nusantara secara taken for granted, puas terhadap hasil nota kesepahaman dan kemudian menghentikan audit kebijakan kepada BPOM serta tidak berminat mengejar lebih jauh atas pembohongan publik yang dituduhkan, maka patut diduga bahwa komisi IX DPR pun memiliki bias kepentingan perihal vaksin. Akan menarik kalau ada yang memiliki informasi mengenai sosiogram para aktor yang terlibat dalam isu vaksin ini. Dengan mengetahui sosiogram para aktor, tidak sulit untuk memetakan kelompok-kelompok mana saja yang terlibat dan bermain serta kepentingan yang dibawanya.

Vaksin covid-19 telah memberikan harapan yang besar bahwa bangsa Indonesia akan melewati masa-masa sulit, bangkit dari keterpurukan ekonomi serta menjadi penyintas kolektif. Vaksin covid-19 diyakini sebagai game changer, mampu memutus mata rantai penyebaran covid-19. Sejak semula sebelum vaksin sinovac didatangkan, pemerintah telah mengampanyekan vaksin gratis untuk rakyat. Dan sampai saat ini pemerintah Indonesia membuktikannya dengan program vaksinasi massal yang dilakukan terus-menerus.

Untuk menjaga keberlanjutan penyediaan vaksin, selain menagih penjelasan dari pemerintah Indonesia terkait progress transfer pengetahuan/tehnologi Sinovac dengan Biofarma, pengamanan persediaan bahan baku vaksin, penelitian-penelitian tentang vaksin dengan ide bisa memproduksi vaksin secara mandiri dan massal atau tidak banyak bergantung dari negara lain selayaknya diapresiasi, didorong dan diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat.

Vaksin untuk rakyat berarti bahwa pemerintah Indonesia memprioritaskan kepentingan dan keselamatan rakyat di atas kepentingan kelompok atau bisnis semata. Jadi, supaya vaksin untuk rakyat tidak dibajak menjadi vaksin untuk elit yang salah satu indikasinya adalah banyaknya klaim dan propaganda daripada proses perdebatan ilmiah yang bermutu, pemerintah bisa mengambil inisiatif dengan memfasilitasi ruang-ruang terbuka bagi akademisi-peneliti untuk mendiskusikan dan memperdebatkan hasil penelitian ilmiahnya khususnya tentang vaksin serta mewajibkan lembaga-lembaga negara yang terlibat dalam penelitian, pengawasan dan produksi vaksin untuk transparan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakannya termasuk kesediaan untuk diaudit dan mempertanggungjawabkan kebijakannya itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *